INFOPOL.CO.ID, Jakarta - Gebrakan demi gebrakan terus dilakukan Kapolri Jenderal Idham Azis. Pun demikian dengan memulai awal tahun di 2020 ini. Kapolri terus melakukan reformasi struktural dan kultural di internal Polri, di saat yang sama terus melakukan terobosan ke luar. Kapolri pun membuka awal tahun dengan instruksi yang mendapat apresiasi publik.
Di penghujung tahun 2019 dan memasuki tahun 2020, misalnya, Idham Azis menerbitkan Surat Telegram bernomor ST/3388/XII/HUM.3.4./2019. Surat ini terbit pada 31 Desember 2019 dengan dasar Presiden Joko Widodo dalam Rapat Koordinasi Tingkat Nasional (Rakornas) Pemerintah Pusat dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Dalam telegram itu, ada 15 poin intruksi Kapolri terkait dengan penanganan tindak pidana korupsi pada pemerintah daerah. ke-15 point ini di bagi ke dalam tiga hal.
Pertama, terkait dengan penanganan laporan atau pengaduan masyarakat yang berindikasi tindak pidana korupsi pada penyelenggaraan pemerintah daerah. Kedua, terkait dengan pelaksanaan pencegahan, pengawasan, dan penanganan permasalahan dana desa. Dan yang ketiga, instruksi dalam melaksanakan upaya pencegahan, penyelidikan, dan penyidikan tindak pidana korupsi yang lebih profesional dan berintegritas. Instruksi Kapolri ini terlihat dengan jelas dan tegas dalam mengedepankan upaya koordinatif.
Di saat yang sama, nampak pula ketegasan Kapolri yang mengingatkan jajaranya untuk tidak meminta atau menerima pemberian terkait penyelenggaraan proyek atau pekerjaan apapun sehubungan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah. Nampak juga sikap polisi dalam hal ketegasan untuk para penghambat investasi.
Surat Kapolri ini pun sangat diapresiasi oleh pakar hukum tata negara, Ibnu Sina Chandranegara, terutama terkait dengan pengawasan dana desa, yang di era Presiden Joko Widodo ini digelontorkan sangat besar untuk membangun Indonesia. Ini menunjukkan bahwa Idham Azis menjadi salah satu pilar dalam menyukseskan program Jokowi dalam membangun Indonesia dari pinggiran dengan gagasan Indonesiasentris-nya. Ia menjelaskan bahwa potensi korupsi dana desa ditenggarai dan dimungkinkan dalam beberapa tahapan, antara lain tahap pendistribusian hingga tahap pertanggungjawaban.
Pada tahap pendistrisbusian, potensi permasalahan yang muncul dari pemerintah Kabupaten/Kota kepada Kepala Desa, antara lain adanya pemotongan, proyek-proyek pesanan atau hanya dibagikan kepada para pendukung bupati atau Partai Politik tertentu.
Di tahap pengelolaan, antara lain dana desa dikelola sendiri oleh kepala desa. Menurutnya, Dana desa itu dikelola sendiri oleh Kepala Desa tanpa melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan di desa, atau hanya melibatkan kepentingan tim sukses Kepala Desa.
Di tahap pemanfaatan, antara lain terjadi mark-up di sana-sini yaitu, mark-up biaya honorarium, proyek fiktif, pengurangan volume pekerjaan, proyek asal jadi atau tidak sesuai kebutuhan masyarakat. Begitu pula, pada tahapan pertanggungjawaban keuangan. Antara lain keterlambatan penyampaian laporan pertanggungjawaban, laporan pertanggungjawaban tanpa dilengkapi bukti dan dokumentasi. Berbagai faktor ini, lanjutnya, menjadi tingginya probabilitas korupsi di sektor desa.
Di antaranya karena minimnya pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan anggaran desa, tidak optimalnya lembaga-lembaga desa seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD), terbatasnya kompetensi kepala desa dan perangkat desa, dan tingginya biaya politik pemilihan kepala desa menjadi salah satu cela.
"Oleh karena itu, Surat Kapolri yang bernomor yang ditujukan untuk seluruh Kapolda merupakan tindakan konsolidasi yang perlu diapresiasi. Utamanya dalam hal pencegahan korupsi dana desa, sekaligus hal tersebut membantu proses pengawasan pembangunan daerah dalam hal pemanfaatan dana desa secara optimal," ungkap Ibnu Sina saat dihubungi wartawan, Sabtu (11/1/2020).
Menurut Ibnu Sina, surat Kapolri tersebut harus dipahami sebagai bentuk konsolidasi kelembagaan dan turut serta dalam pencegahan tindak pidana korupsi dana desa itu sendiri. Tindakan konsolidasi kelembagaan perlu dilakukan untuk penyamaan persepsi dan dalam rangka penegakkan hukum yang tetap dalam koridor menyesuaikan dan menyeimbangkan tujuan hukum yaitu kepastian, kemanfaatan dan keadilan.
"Di saat yang bersamaan surat tersebut juga bermanfaat bagi sebagai sosialisasi kegiatan pengawasan agar terhindar dari niat jahat terkait korupsi dana desa itu sendiri," ungkapnya.
Lebih jauh disampaikan Dahroni Agung Prasetyo, Direktur Ekseskutif Aufklarung Institute, dirinya menilai bahwa prestasi Kapolri dalam dua bulan ini sangat bagus. Tidak heran bila Komisi III DPR pun secara aklamasi menyetujui bila Idham menjadi Kapolri. Idham bukan semata memiliki rekam jejak dalam memberantas terorisme seperti dalam operasi Operasi Camar Maleo untuk menangkap kelompok Santoso, hingga Operasi Tinombala di Poso.
"Idham, terbukti, bukan hanya mampu melumpuhkan gembong Jamaah Islamiya, Azhari dan kelompoknya, namun juga mampu menata jajaran Polri dengan revolusi mental. Misalnya dengan instruksinya agar Polri tak memamerkan gaya hidup secara berlebihan, termasuk di medsos. Ini terlihat sederhana, namun sebenarnya sedang melakukan perubahan besar soal mental," ungkap Dahroni.
Hal paling fenonemal, sambung Dahroni, adalah kemampuan Idham Azis dalam mengungkap dan menangkap pelaku penyiraman air keras pada Novel Baswedan, yang kasusnya sudah hampir tiga tahun, atau dua tahun delapan bulan. Ini merupakan salah satu prestasi besar Idham dalam mengungkap kasus mangkrak yang selama ini menjadi perhatian publik.
"Idham harus diapresiasi, sebab kasus ini menemukan titik terang di masa Idham. Idham memberikan jawaban dengan kinerja terhadap orang yang sebelumnya meragukannya," puji Dahroni, kepada mantan Kapolda Metro Jaya ini.
Dahroni juga memuji Idham yang terus melakukan reformasi internal, khusunya reformasi kultural sehingga mengubah wajah polisi di depan publik. (InPol-red)